MAKALAH
UNIT GAWAT DARURAT
KONSEP KESADARAN
( DISABILITY )
Kelompok IV
1.
Ferdinand
Songgrery
2.
Maikel
Moktis
3. Henike Isba
4.
Adianti
Pansalang
5.
Ruth
Yanti tangnga
6.
Sintha
SEKOLAH
TINGGI ILMU KEPERAWATAN
STIKPER
GUNUNG SARI MAKASSAR
2014/2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan gawat darurat merupakan
bentuk pelayanan yang bertujuan untuk
menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum
tindakan/perawatan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang
berguna bagi kehidupan. Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan
tepat, maka sering dimanfaatkan untuk
memperoleh pelayanan pertolongan pertama
dan bahkan pelayanan rawat jalan bagi penderita dan keluarga yang menginginkan
pelayanan secara cepat. Oleh karena itu diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan yang bagus dalam mengaplikasikan
asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan
kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya
secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan
yang tidak dapat dikendalikan.
Asuhan keperawatan gawat darurat
adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan gawat darurat yang diberikan
kepada klien oleh perawat yang berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan
keperawatan yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik
aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak, maupun resiko tinggi. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi asuhan keperawatan gawat darurat, yaitu : kondisi kegawatan seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah klien yang datang ke ruang gawat
darurat, keterbatasan
sumber daya dan waktu, adanya saling ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang bekerja di ruang gawat darurat, keperawatan diberikan untuk semua usia dan sering dengan data dasar yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus
cepat dan dengan ketepatan yang tinggi (Maryuani, 2009).
Mengingat sangat pentingnya
pengumpulan data atau informasi yang mendasar pada kasus gawat darurat, maka
setiap perawat gawat darurat harus berkompeten dalam melakukan pengkajian gawat
darurat. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat
tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang
akan menentukan bentuk pertolongan yang akan diberikan kepada
pasien. Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula
dapat dilakukan pengkajian awal
sehingga pasien tersebut dapat segera
mendapat pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.
Pengkajian pada kasus gawat darurat
dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian primer dan pengkajian sekunder.
Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu
melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam
hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian
primer meliputi :
a)
Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga
jalan nafas disertai kontrol servikal
b)
Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola
pernafasan agar oksigenasi adekuat;
c)
Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai
kontrol perdarahan
d)
Disability, mengecek status neurologis
Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera
kondisi yang mengancam nyawa pasien. Pengkajian
primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi dalam
prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat (kurang
dari 10 detik) difokuskan pada Airway Breathing Circulation (ABC). Karena
kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini
dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder
akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen
dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan
pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan
menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan
kematian. Oleh karena itu pengkajian primer
pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan
efisien (Mancini, 2011).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka
kelompok kami tertarik untuk membahas mengenai pengkajian gawat darurat pada
dewasa.
B. Tujuan
1.
Tujuan Umum
Mengetahui
tentang konsep pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa
2.
Tujuan Khusus
a. Mengetahui
tentang konsep pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa yang meliputi : primary assessment, secondary assessment, focused
assesment, diagnostic procedure.
b. Menyusun
format pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa.
C. Ruang Lingkup Penulisan
Ruang lingkup penulisan
pada makalah ini antara lain :
1. Konsep primary assessment yang membahas
mengenai proses evaluasi awal yang sistematis dan penanganan segera pada pasien
dewasa yang mengalami kondisi gawat darurat, yang meliputi Airway maintenance
dengan cervical spine protection,
Breathing dan oxygenation,
Circulation dan kontrol perdarahan eksternal, Disability-pemeriksaan neurologis singkat dan Exposure dengan kontrol lingkungan.
2. Konsep secondary assessment yang membahas
mengenai proses anamnesis dan pemeriksaan fisik head to toe untuk menilai perubahan bentuk, luka dan
cedera yang dialami pasien dewasa.
3. Konsep Focused assessment yang membahas
mengenai beberapa komponen pengkajian terfokus yang penting
untuk melengkapi primary survey pada pasien dewasa di gawat darurat.
4. Pemeriksaan
diagnostik yang dibutuhkan untuk melengkapi proses pengkajian gawat darurat
pada pasien dewasa, yang meliputi : Endoskopi, bronkoskopi, CT scan, USG, dll.
D.
Metode
Penulisan
Metode
penulisan dalam makalah ini adalah dari beberapa studi literatur dan
jurnal-jurnal penelitian.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI DAN PEMBAHASAN
Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim
trauma agak berbeda dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan
diagnosa, pengkajian dan manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara
bersamaan dan dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim
harus langsung memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai
penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde,
2009) :
1.
Primary
survey
2.
Resuscitation
3.
History
4.
Secondary
survey
5.
Definitive
care
A. Primary
Survey
Primary survey
menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera
terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan
dari Primary
survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah
yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
a. Airway maintenance
dengan cervical spine protection
b. Breathing
dan oxygenation
c. Circulation
dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan
neurologis singkat
e. Exposure
dengan kontrol lingkungan
Sangat
penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan
yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah
sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas
sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran
tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan
sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka
(American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan
berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan
trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh
pemberian intervensi
yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment,
intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan
melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) :
a)
General
Impressions
Ø Memeriksa
kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
Ø Menentukan
keluhan utama atau mekanisme cedera
Ø Menentukan
status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b)
Pengkajian
Airway
Tindakan pertama kali yang harus
dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien
berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang
pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson,
2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway
dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi
endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada.
Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian
airway pada pasien antara lain :
Ø Kaji
kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
Ø Tanda-tanda
terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
ü Adanya snoring
atau gurgling
ü Stridor
atau suara napas tidak normal
ü Agitasi
(hipoksia)
ü Penggunaan
otot bantu pernafasan / paradoxical chest
movements
ü Sianosis
Ø Look
dan listen bukti adanya masalah pada
saluran napas bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
ü Muntahan
ü Perdarahan
ü Gigi
lepas atau hilang
ü Gigi
palsu
ü Trauma
waja
Ø Jika
terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
Ø Lindungi
tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk
mengalami cedera tulang belakang.
Ø Gunakan
berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
ü Chin lift/jaw thrust
ü Lakukan
suction (jika tersedia)
ü Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
ü Lakukan
intubasi
c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan
untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien.
Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus
dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open
chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian
breathing pada pasien antara lain :
Ø Look,
listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
ü Inspeksi
dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut
: cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
ü Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur
ruling iga, subcutaneous emphysema,
perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax
dan pneumotoraks.
ü Auskultasi
untuk adanya : suara abnormal pada dada.
Ø Buka
dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
Ø Tentukan
laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter
dan kualitas pernafasan pasien.
Ø Penilaian
kembali status mental pasien.
Ø Dapatkan
bacaan pulse oksimetri jika
diperlukan
Ø Pemberian
intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
ü Pemberian
terapi oksigen
ü Bag-Valve
Masker
ü Intubasi
(endotrakeal atau nasal dengan
konfirmasi penempatan yang benar), jika diindikasikan
ü Catatan:
defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedures
Ø Kaji
adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai
kebutuhan.
d)
Pengkajian
Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak
adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab
syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis:
hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin,
penurunan capillary refill, dan
penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi
merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi
perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade,
cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal
yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan
dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian
terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
Ø Cek
nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
Ø CPR
harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Ø Kontrol
perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan secara
langsung.
Ø Palpasi
nadi radial jika diperlukan:
ü Menentukan
ada atau tidaknya
ü Menilai
kualitas secara umum (kuat/lemah)
ü Identifikasi
rate (lambat, normal, atau cepat)
ü Regularity
Ø Kaji
kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
Ø Lakukan
treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability
dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
Ø A
- alert, yaitu merespon suara dengan
tepat, misalnya mematuhi perintah yang
Diberikan
Ø V
- vocalises, mungkin tidak sesuai
atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
Ø P
- responds to pain only (harus
dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal
yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
Ø U
- unresponsive to pain, jika pasien
tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun
stimulus verbal.
f)
Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan
memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau
tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan
pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada
pasien adalah mengekspos pasien hanya
selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan
selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang
(Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi
mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka Rapid
Trauma Assessment harus segera dilakukan:
Ø Lakukan
pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
Ø Perlakukan
setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai
melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis
B. Secondary
Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang.
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam
artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1.
Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan
dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian
pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan
sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency
Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara
optimal harus diperoleh langsung
dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien
yang terganggu, konsultasikan dengan anggota
keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai
cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan
frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah, maksilo-fasial,
servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh
dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau
vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar
dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis
juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi
(adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M :
Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan
hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis
pasien seperti penyakit yang pernah
diderita,
obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru
saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam
sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen
ini)
E : Events,
hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan
adanya keluhan utama)
Ada
beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan
kondisi pasien.
Akronim
PQRST ini digunakan untuk mengkaji
keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :
· Provokes/palliates : apa yang
menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan
nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu
membuat anda terbangun saat tidur?
· Quality
: bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam,
ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien
mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
· Radiates: apakah nyerinya
menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri terlokalisasi di satu titik atau
bergerak?
· Severity : seberapa parah
nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan
0 tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
· Time : kapan nyeri
itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa lama nyeri itu timbul?
Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini
sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka
langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital
meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat
badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda
vital untuk pasien dewasa menurut Emergency
Nurses Association,(2007).
Komponen
|
Nilai normal
|
Keterangan
|
Suhu
|
36,5-37,5
|
Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk mengukur suhu inti menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin, esophageal probe, atau monitor tekanan intracranial
dengan pengukur suhu. Suhu dipengaruhi oleh aktivitas, pengaruh lingkungan,
kondisi penyakit, infeksi dan injury.
|
Nadi
|
60-100x/menit
|
Dalam pemeriksaan nadi perlu
dievaluais irama jantung, frekuensi, kualitas dan kesamaan.
|
Respirasi
|
12-20x/menit
|
Evaluasi dari repirasi meliputi
frekuensi, auskultasi suara nafas, dan inspeksi dari usaha bernafas. Tada
dari peningkatan usah abernafas adalah adanya pernafasan cuping hidung,
retraksi interkostal, tidak mampu mengucapkan 1 kalimat penuh.
|
Saturasi oksigen
|
>95%
|
Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan hal ini penting bagi pasien dengan gangguan
respirasi, penurunan kesadaran, penyakit serius dan tanda vital yang
abnormal. Pengukurna dapat dilakukan di jari tangan atau kaki.
|
Tekanan darah
|
120/80mmHg
|
Tekana darah mewakili dari
gambaran kontraktilitas jantung, frekuensi jantung, volume sirkulasi, dan
tahanan vaskuler perifer. Tekanan sistolik menunjukkan cardiac output,
seberapa besar dan seberapa kuat darah itu dipompakan. Tekanan diastolic
menunjukkan fungsi tahanan vaskuler perifer.
|
Berat badan
|
Berat badan penting diketahui di
UGD karena berhubungan dengan keakuratan dosis atau ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan, vasopressor, dan medikasi lain yang tergantung dengan
berat badan.
|
2.
Pemeriksaan
fisik
a.
Kulit
kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang
datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari
bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala
dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan,
nyeri tekan serta adanya sakit
kepala (Delp
& Manning. 2004).
b.
Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi
adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila terdapat cedera
di sekitar mata jangan lalai memeriksa
mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1)
Mata: periksa kornea ada cedera atau
tidak, ukuran pupil
apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman
mata (macies visus
dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan,
rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,
exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2)
Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila
ada deformitas
(pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
3)
Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya
pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan
membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4)
Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5)
Rahang bawah: periksa akan adanya
fraktur
6)
Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban,
lesi, apakah tosil meradang, pegang
dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan
nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang
atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi
adanya
respon nyeri
c.
Vertebra
servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa
adanya deformitas
tulang atau krepitasi, edema,
ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan
disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera
tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan
adanya nyeri, deformitas,
pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea,
kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga
imobilisasi segaris dan proteksi servikal.
Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak
sekunder..
d.
Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan,
samping dan belakang
untuk
adanya trauma tumpul/tajam,luka,
lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot
pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya
trauma tajam/tumpul,
emfisema
subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan
hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales)
dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
e.
Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput
terdiagnosis, misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran,
fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya
dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen
bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya
perdarahan internal, adakah
distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa,
denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk
mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk
mengetahui adakah kekakuan atau
nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans
muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya
perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG
(Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus
gejala mungkin tidak akan nampak
dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya
dengan transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118,
2010).
f.
Pelvis
(perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis
menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang
PASG/ gurita untuk
mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum
diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau kontusio,
hematoma, dan perdarahan uretra.
Colok
dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan
kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya
fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada
wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina
atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus
dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn
tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada
adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang
dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle
injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien
hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler
ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit atau
terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk
analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
g.
Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa untuk memriksa
adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan
lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan,
jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma
kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga
membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan
penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi,
gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis,
atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing
finger serta catat
adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia
lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian
pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat pada ekstremitas dapat
terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi
menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan
sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh
syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur
torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma.
Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan
dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan
muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung
penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1) Perdarahan
dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok yang
dpat berakibat fatal
2) Fraktur
pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan
tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini
dikenali.
3) Kerusakan
jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita mulai
sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
h.
Bagian
punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan penderita dengan
tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan
punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
i.
Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti
meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan
motorik dan sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan
pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna
vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar
servikal,
dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal.
Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada
kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher
sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi.
Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau
tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial.
Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti
ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada
perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf
(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang,
twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese
(ganggguan pergerakan), distaksia (
kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula
adanya vertigo dan respon sensori
C. Focused
Assessment
Focused
assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian
pada area keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary survey, anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan
subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head to toe). Di beberapa negara bagian
Australia mengembangkan focused
assessment ini dalam pelayanan di Emergency
Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan beberapa Negara Eropa
tidak menggunakan istilah Focused
Assessment tetapi dengan istilah Definitive
Assessment (O’keefe et.al, 1998).
Focused
assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa
dilakukan sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan.
Yang paling banyak dilakukan dalam tahap
ini adalah beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik atau bahkan dilakukan
pemeriksaan ulangan dengan tujuan segera dapat dilakukan tindakan definitif.
D.
Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan
pengkajian kembali (reassessment)
yang penting untuk melengkapi primary
survey pada pasien di gawat darurat
adalah:
Komponen
|
Pertimbangan
|
Airway
|
Pastikan bahwa peralatan airway : Oro Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask
Airway , maupun Endotracheal Tube
(salah satu dari peralatan airway) tetap efektif untuk menjamin kelancaran
jalan napas. Pertimbangkan penggunaaan peralatan dengan manfaat yang optimal
dengan risiko yang minimal.
|
Breathing
|
Pastikan oksigenasi sesuai dengan
kebutuhan pasien :
·
Pemeriksaan
definitive rongga dada dengan rontgen foto thoraks, untuk meyakinkan ada
tidaknya masalah seperti Tension pneumothoraks, hematotoraks atau trauma
thoraks yang lain yang bisa mengakibatkan oksigenasi tidak adekuat
·
Penggunaan
ventilator mekanik
|
Circulation
|
Pastikan bahwa dukungan sirkulasi
menjamin perfusi jaringan khususnya organ vital tetap terjaga, hemodinamik
tetap termonitor serta menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat
penanganan resusitasicairan.
·
Pemasangan
cateter vena central
·
Pemeriksaan
analisa gas darah
·
Balance
cairan
·
Pemasangan
kateter urin
|
Disability
|
Setelah pemeriksaan GCS pada
primary survey, perlu didukung dengan :
·
Pemeriksaan
spesifik neurologic yang lain seperti reflex patologis, deficit neurologi,
pemeriksaan persepsi sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
·
CT
scan kepala, atau MRI
|
Exposure
|
Konfirmasi hasil data primary
survey dengan
·
Rontgen
foto pada daerah yang mungkin dicurigai trauma atau fraktur
·
USG
abdomen atau pelvis
|
E.
Pemeriksaan
Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah
ventilasi dan hemodinamika penderita dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr.
M.Djamil, 2006). Dalam melakukan
secondary survey,
mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti :
1)
Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada
pasien dengan perdarahan dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita
bisa mngethaui perdarahan yang terjadi organ dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat
mendeteksi lebih dari 95% pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis
melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya. Lokasi
dan sumber perdarahan yaitu:
a.
Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tumor
b.
Gaster :Erosi, ulkus, tumor, polip, angio
displasia, Dilafeuy, varises
gastropati kongestif
c.
Duodenum
:Ulkus, erosi,
Untuk
kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises dan perdarahan bukan karena ruptur varises
(variceal bleeding dan non variceal bleeding) (Djumhana, 2011).
2)
Bronkoskopi
Bronkoskopi
adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus dengan
menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini dapat
menilai lebih baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi
infiltrat yang memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga
dapat menilai penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa
intrabronkial, tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada
tidaknya pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina yang
terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra
bronkus (Parhusip, 2004).
3)
CT Scan
CT-scan
merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen,
semua jenis trauma dan menentukan
tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan
memisahkan antara jaringan otak yang
infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk menilai
kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir, CT-scan dapat
mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan menjadi baku emas
dalam diagnosis stroke (Widjaya, 2002).
Pemeriksaaan CT. scan juga dapat mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan
diotak, tumor otak, kelainan-kelainan tulang dan kelainan dirongga dada dan
rongga perur dan khususnya kelainan pembuluh darah, jantung (koroner), dan
pembuluh darah umumnya (seperti penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).
4)
USG
Ultrasonografi
(USG) adalah alat diagnostik non invasif
menggunakan gelombang suara dengan
frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk menghasilkan gambaran struktur organ di
dalam tubuh.Manusia dapat mendengar gelombang
suara 20-20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14
kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu
alat yang disebut transducer atau probe.
Obyek didalam tubuh akan memantulkan
kembali gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu sensor,
gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar.
Daerah yang tercakup tergantung dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang
terbaru dapat menayangkan suatu obyek
dengan
gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan berwarna. USG bisa dilakukan pada
abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011)
5)
Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan
penunjang yang dilakukan di ruang gawat
darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang
dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari
suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut
melintasi pasien dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian
besar radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang
dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi,
meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak berwarna hitam.
Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda
menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada, abdoment,
sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit degenerative, metabolic
dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam membantu
diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di departemen radiologi adalah
pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan ini.
Ini karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan
berbanding pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak, 2012).
6)
MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara
umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan pada
kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli
paru, udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah
prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali
rumah sakit yang memiliki, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak
dapat diapaki pada pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu
pendengaran (Widjaya,2002).
BAB IV
PENUTUP
B. Kesimpulan
1. Proses
pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa terdiri dari primary assessment, secondary
assessment, focused assessment,
dan diagnostic procedure.
2. Konsep primary assessment merupakan proses
evaluasi awal yang sistematis dan penanganan segera pada pasien dewasa yang
mengalami kondisi gawat darurat, yang meliputi Airway
maintenance, Breathing dan oxygenation, Circulation dan kontrol perdarahan eksternal, Disability-pemeriksaan neurologis
singkat dan Exposure dengan kontrol
lingkungan.
3. Konsep secondary assessment yang membahas
mengenai proses anamnesis dan pemeriksaan fisik head to toe untuk menilai perubahan bentuk, luka dan
cedera yang dialami pasien dewasa.
4. Konsep Focused assessment yang membahas
mengenai beberapa komponen apengkajian terfokus yang penting
untuk melengkapi primary survey pada pasien dewasa di gawat darurat.
5. Pemeriksaan
diagnostik yang dibutuhkan untuk melengkapi proses pengkajian gawat darurat
pada pasien dewasa, yang meliputi : Endoskopi, bronkoskopi, CT scan, USG, dll.
6. Perbedaan
proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa dengan kondisi trauma dan
non trauma adalah pada isi pertanyaan yang ditanyakan (content) pada
saat melakukan anamnesis dan pemeriksaan head to toe yang dilakukan.
C.
Saran
Pada
proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa bisa menggunakan dan bisa membantu pengumpulan data terkait
keluhan dan kondisi pasien serta mempercepat pemberian penanganan pada pasien
secara tepat.
Setelah
penulisan makalah ini,kami mengharapkan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa keperawatan pada
khususnya mengetahui pengertian,tindakan awal.
DAFTAR
PUSTAKA
American
College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors.
instructor course manual book 1 - sixth edition. Chicago.
Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J.
(2009). The emergency nursing assessment process: a structured framedwork for a
systematic approach. Australasian
Emergency Nursing Journal, 12; 130-136
Delp &
manning. (2004) . Major
diagnosis fisik . Jakarta: EGC.
Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat
118. (2010). Basic Trauma Life Support and Basic Cardiac Life Support Edisi
Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.
Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang.
(2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat darurat (PPGD). RSUP.
Dr.M.Djamil Padang.
Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut
Saluran Cerna Bagian Atas. FK. UNPAD. Diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/
tanggal 28 april 2013.
Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th
edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.
Fulde, Gordian. (2009). Emergency medicine 5th edition. Australia : Elsevier.
Gilbert,
Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine medical care primary and secondary survey. San
Mateo County EMS Agency.
Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012).
Emergency room use among aults aged
18-64: early release of estimates from the national health interview survey,
January-June 2011. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari http://www.cdc.gov/nchs/data/nhis/earlyrelease/emergency_room_use_january-june_2011.pdf
Holder,
AR. (2002 ).Emergency room liability. JAMA.
Institute
for Health Care Improvement. (2011). Nursing
assessment form with medical emergency team (MET) guidelines. Diakses pada
tanggal 28 April 2013, dari http://www.ihi.org/knowledge/Pages/Tools/NursingAssessmentFormwithMETGuidelines.aspx.
Ishak,
2012. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium untuk fisioterapis. Diakses dari http://www.slideshare.net/IshakMajid/radiologi-laboratorium-a4
tanggal 5 Mei 2013
Lombardo, D. (2005). Patient asessment.
In: Newbury L., Criddle L.M., ed. Sheehy’s
manual of emergency care, ed 6. Philadelphia: Mosby.
Lyandra, april, Budhi, Antariksa,
Syahrudin. (2011). Ultrasonografi Toraks. Jurnal
Respiratori Inonesia Volume 31 diakses dari http://jurnalrespirologi.org/
tanggal 28 April 2013.
Lyer, P.W., Camp, N.H.(2005).
Dokumentasi Keperawatan, Suatu Pendekatan Proses Keperawatan, Edisi
3. Jakarta: EGC
Mancini
MR, Gale AT.(2011). Emergency care and
the law. Maryland: Aspen Publication.