Minggu, 16 Oktober 2016

Makalah UGD Unit Gawat Darurat







MAKALAH
UNIT GAWAT DARURAT
KONSEP KESADARAN
( DISABILITY )
Kelompok IV

1.      Ferdinand Songgrery
2.      Maikel Moktis
3.      Henike Isba
4.      Adianti Pansalang
5.      Ruth Yanti tangnga
6.      Sintha





SEKOLAH TINGGI ILMU  KEPERAWATAN
STIKPER GUNUNG SARI MAKASSAR
2014/2015





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
          Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang  bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum tindakan/perawatan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna bagi kehidupan. Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan tepat, maka sering dimanfaatkan  untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan bahkan pelayanan rawat jalan bagi penderita dan keluarga yang menginginkan pelayanan secara cepat. Oleh karena itu diperlukan perawat yang mempunyai  kemampuan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan.   
           Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak, maupun resiko tinggi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi asuhan keperawatan gawat darurat, yaitu : kondisi kegawatan seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah klien yang datang ke ruang gawat darurat, keterbatasan sumber daya dan waktu,  adanya saling ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang bekerja di ruang gawat darurat, keperawatan diberikan untuk semua usia dan sering dengan data dasar yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus cepat dan dengan ketepatan yang tinggi (Maryuani, 2009).
           Mengingat sangat pentingnya pengumpulan data atau informasi yang mendasar pada kasus gawat darurat, maka setiap perawat gawat darurat harus berkompeten dalam melakukan pengkajian gawat darurat. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan  menentukan bentuk  pertolongan yang akan diberikan kepada pasien. Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula




dapat dilakukan pengkajian awal sehingga  pasien tersebut dapat segera mendapat pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.
       Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi  :
a)      Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai kontrol      servikal
b)      Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat;
c)      Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan
d)     Disability, mengecek status neurologis

          Pengkajian  primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien. Pengkajian  primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari 10 detik) difokuskan pada Airway Breathing Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian primer  pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien (Mancini, 2011).
       Berdasarkan latar belakang diatas, maka kelompok kami tertarik untuk membahas mengenai pengkajian gawat darurat pada dewasa.









B.  Tujuan
1.      Tujuan Umum
Mengetahui tentang konsep pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa
2.      Tujuan Khusus
a.       Mengetahui tentang konsep pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa yang meliputi : primary assessment, secondary assessment, focused assesment, diagnostic procedure.
b.      Menyusun format pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa.

C.  Ruang Lingkup Penulisan
Ruang lingkup penulisan pada makalah ini antara lain :
1.      Konsep primary assessment yang membahas mengenai proses evaluasi awal yang sistematis dan penanganan segera pada pasien dewasa yang mengalami kondisi gawat darurat, yang meliputi Airway maintenance dengan cervical spine protection, Breathing dan oxygenation, Circulation dan kontrol perdarahan eksternal, Disability-pemeriksaan neurologis singkat dan Exposure dengan kontrol lingkungan.
2.      Konsep secondary assessment yang membahas mengenai proses anamnesis dan pemeriksaan fisik head to toe untuk menilai perubahan bentuk, luka dan cedera yang dialami pasien dewasa.
3.      Konsep Focused assessment yang membahas mengenai beberapa komponen pengkajian terfokus yang penting untuk melengkapi primary survey  pada pasien dewasa di gawat darurat.
4.      Pemeriksaan diagnostik yang dibutuhkan untuk melengkapi proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa, yang meliputi : Endoskopi, bronkoskopi, CT scan, USG, dll.

D.    Metode Penulisan
Metode penulisan dalam makalah ini adalah dari beberapa studi literatur dan jurnal-jurnal penelitian.



BAB II
TINJAUAN TEORI DAN PEMBAHASAN

Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus langsung memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009) :
1.      Primary survey
2.      Resuscitation
3.      History
4.      Secondary survey
5.      Definitive care
A.      Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari  Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
a.       Airway maintenance dengan cervical spine protection
b.      Breathing dan oxygenation
c.       Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
d.      Disability-pemeriksaan neurologis singkat
e.       Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka


(American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh
pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) :
a)    General Impressions
Ø  Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
Ø  Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
Ø  Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b)   Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan  bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
Ø Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan bebas?
Ø Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
ü  Adanya snoring atau gurgling
ü  Stridor atau suara napas tidak normal
ü  Agitasi (hipoksia)
ü  Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
ü  Sianosis
Ø  Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
ü  Muntahan
ü  Perdarahan
ü  Gigi lepas atau hilang
ü  Gigi palsu
ü  Trauma waja
Ø  Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
Ø  Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
Ø  Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
ü  Chin lift/jaw thrust
ü  Lakukan suction (jika tersedia)
ü  Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
ü  Lakukan intubasi

c)    Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
Ø  Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
ü  Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
ü  Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
ü  Auskultasi  untuk adanya : suara abnormal pada dada.
Ø  Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
Ø  Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
Ø  Penilaian kembali status mental pasien.



Ø  Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
Ø  Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
ü  Pemberian terapi oksigen
ü  Bag-Valve Masker
ü  Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika diindikasikan
ü  Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
Ø  Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.

d)   Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
Ø  Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
Ø  CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Ø  Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan secara langsung.
Ø  Palpasi nadi radial jika diperlukan:
ü  Menentukan ada atau tidaknya
ü  Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
ü  Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
ü  Regularity
Ø  Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
Ø  Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

e)    Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
Ø  A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
Diberikan
Ø  V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
Ø  P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
Ø  U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.


f)          Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah  mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan  telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011). 
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
Ø  Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
Ø  Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis









B.   Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan  pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to  toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1.     Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a.       Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b.      Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c.       Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A  : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P   : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L  : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E  :  Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi pasien.

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :
·      Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
·      Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
·      Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
·      Severity : seberapa parah nyerinya?  Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
·      Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.


Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut Emergency Nurses Association,(2007).
Komponen
Nilai normal
Keterangan
Suhu
36,5-37,5
Dapat di ukur melalui oral, aksila, dan rectal. Untuk mengukur suhu inti menggunakan kateter arteri pulmonal, kateter urin, esophageal probe, atau monitor tekanan intracranial dengan pengukur suhu. Suhu dipengaruhi oleh aktivitas, pengaruh lingkungan, kondisi penyakit, infeksi dan injury.
Nadi
60-100x/menit
Dalam pemeriksaan nadi perlu dievaluais irama jantung, frekuensi, kualitas dan kesamaan.
Respirasi
12-20x/menit
Evaluasi dari repirasi meliputi frekuensi, auskultasi suara nafas, dan inspeksi dari usaha bernafas. Tada dari peningkatan usah abernafas adalah adanya pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal, tidak mampu mengucapkan 1 kalimat penuh.
Saturasi oksigen
>95%
Saturasi oksigen di monitor melalui oksimetri nadi, dan hal ini penting bagi pasien dengan gangguan respirasi, penurunan kesadaran, penyakit serius dan tanda vital yang abnormal. Pengukurna dapat dilakukan di jari tangan atau kaki.
Tekanan darah
120/80mmHg
Tekana darah mewakili dari gambaran kontraktilitas jantung, frekuensi jantung, volume sirkulasi, dan tahanan vaskuler perifer. Tekanan sistolik menunjukkan cardiac output, seberapa besar dan seberapa kuat darah itu dipompakan. Tekanan diastolic menunjukkan fungsi tahanan vaskuler perifer.
Berat badan

Berat badan penting diketahui di UGD karena berhubungan dengan keakuratan dosis atau ukuran. Misalnya dalam pemberian antikoagulan, vasopressor, dan medikasi lain yang tergantung dengan berat badan.






2.     Pemeriksaan fisik
a.    Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi,  laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan,  nyeri tekan serta adanya  sakit kepala (Delp & Manning. 2004).


b.   Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata  jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1)        Mata: periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana  reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2)        Hidung                        :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
3)        Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4)        Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5)        Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
6)        Mulut  dan faring : inspeksi pada bagian  mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi   amati  adanya tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri

c.    Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya  deformitas tulang atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas,
pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.  Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..

d.   Toraks
Inspeksi         : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi  dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
Palpasi           : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi          : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi     : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan     bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)

e.        Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen,  asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma.  Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk




mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).







f.     Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya  luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan  yang ada  adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang,  Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

g.    Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi,  gerakan, dan sensasi harus diperhatikan,  paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan  pada jari-jari periksa adanya clubbing finger  serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1)      Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2)      Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini dikenali.
3)      Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

h.        Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010).  Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula  pada kolumna vertebra  periksa adanya  deformitas.

i.           Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar



servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji  pula  adanya vertigo dan respon sensori

C.   Focused Assessment
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada area keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary survey, anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head to toe). Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan focused assessment ini dalam pelayanan di Emergency Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan beberapa Negara Eropa tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi dengan istilah Definitive Assessment (O’keefe et.al, 1998).
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa dilakukan sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan. Yang paling  banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik atau bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan segera dapat dilakukan tindakan definitif.





D.      Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali (reassessment) yang penting untuk melengkapi primary survey  pada pasien di gawat darurat adalah:


Komponen
Pertimbangan
Airway

Pastikan bahwa peralatan airway : Oro Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask Airway , maupun Endotracheal Tube (salah satu dari peralatan airway) tetap efektif untuk menjamin kelancaran jalan napas. Pertimbangkan penggunaaan peralatan dengan manfaat yang optimal dengan risiko yang minimal.



Breathing



Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan pasien :
·         Pemeriksaan definitive rongga dada dengan rontgen foto thoraks, untuk meyakinkan ada tidaknya masalah seperti Tension pneumothoraks, hematotoraks atau trauma thoraks yang lain yang bisa mengakibatkan oksigenasi tidak adekuat
·         Penggunaan ventilator mekanik
Circulation
Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin perfusi jaringan khususnya organ vital tetap terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat penanganan resusitasicairan.
·         Pemasangan cateter vena central
·         Pemeriksaan analisa gas darah
·         Balance cairan
·         Pemasangan kateter urin

Disability
Setelah pemeriksaan GCS pada primary survey, perlu didukung dengan :
·         Pemeriksaan spesifik neurologic yang lain seperti reflex patologis, deficit neurologi, pemeriksaan persepsi sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
·         CT scan kepala, atau MRI

Exposure

Konfirmasi hasil data primary survey dengan
·         Rontgen foto pada daerah yang mungkin dicurigai trauma atau fraktur
·         USG abdomen atau pelvis


E.       Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika penderita dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan

secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti :
1)           Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan perdarahan dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa mngethaui perdarahan yang terjadi organ dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95% pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:
a.                   Esofagus         :Varises,erosi,ulkus,tumor
b.                   Gaster              :Erosi, ulkus, tumor, polip, angio displasia, Dilafeuy, varises
           gastropati kongestif
c.                   Duodenum      :Ulkus, erosi,
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises dan  perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal bleeding) (Djumhana, 2011).
2)             Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini dapat menilai lebih baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi infiltrat yang memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat menilai penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa intrabronkial, tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus (Parhusip, 2004).
3)            CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi  seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan menentukan  tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan memisahkan  antara jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir,  CT-scan dapat  mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan menjadi baku emas dalam  diagnosis stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT. scan juga dapat mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak, kelainan-kelainan tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga perur dan khususnya kelainan pembuluh darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah umumnya (seperti penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).
4)           USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik  non invasif menggunakan gelombang suara dengan  frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz)  untuk menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar gelombang  suara 20-20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14 kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat yang disebut transducer atau probe.



Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup tergantung dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan  suatu obyek dengan
gambaran tiga dimensi, empat  dimensi dan berwarna. USG bisa dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011)
5)           Radiologi
Radiologi  merupakan salah satu pemeriksaan penunjang  yang dilakukan di ruang gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut melintasi pasien dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian besar radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi, meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak berwarna hitam. Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada, abdoment, sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit degenerative, metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam membantu diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di departemen radiologi adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan ini. Ini karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan berbanding pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak, 2012).










6)           MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan pada kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru, udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang memiliki, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki pada pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran (Widjaya,2002).





























BAB IV
PENUTUP

B.       Kesimpulan
1.    Proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa terdiri dari primary assessment, secondary assessment, focused assessment, dan diagnostic procedure.
2.    Konsep primary assessment merupakan proses evaluasi awal yang sistematis dan penanganan segera pada pasien dewasa yang mengalami kondisi gawat darurat, yang meliputi Airway maintenance, Breathing dan oxygenation, Circulation dan kontrol perdarahan eksternal, Disability-pemeriksaan neurologis singkat dan Exposure dengan kontrol lingkungan.
3.    Konsep secondary assessment yang membahas mengenai proses anamnesis dan pemeriksaan fisik head to toe untuk menilai perubahan bentuk, luka dan cedera yang dialami pasien dewasa.
4.    Konsep Focused assessment yang membahas mengenai beberapa komponen apengkajian terfokus yang penting untuk melengkapi primary survey  pada pasien dewasa di gawat darurat.
5.    Pemeriksaan diagnostik yang dibutuhkan untuk melengkapi proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa, yang meliputi : Endoskopi, bronkoskopi, CT scan, USG, dll.
6.    Perbedaan proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa dengan kondisi trauma dan non trauma adalah pada isi pertanyaan yang ditanyakan (content) pada saat melakukan anamnesis dan pemeriksaan head to toe yang dilakukan.

C.      Saran
      Pada proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa bisa menggunakan dan bisa membantu pengumpulan data terkait keluhan dan kondisi pasien serta mempercepat pemberian penanganan pada pasien secara tepat.
        Setelah penulisan makalah ini,kami mengharapkan masyarakat pada umumnya   dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian,tindakan awal.








DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors. instructor course manual book 1 - sixth edition. Chicago.

Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing assessment process: a structured framedwork for a systematic approach. Australasian Emergency Nursing Journal, 12; 130-136

Delp & manning. (2004) . Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC.
Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support and Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.

Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.

Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. FK. UNPAD. Diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/ tanggal 28 april 2013.

Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby. 

Fulde, Gordian. (2009). Emergency medicine 5th edition.  Australia : Elsevier.

Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.

Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency room use among aults aged 18-64: early release of estimates from the national health interview survey, January-June 2011. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari http://www.cdc.gov/nchs/data/nhis/earlyrelease/emergency_room_use_january-june_2011.pdf

Holder, AR. (2002 ).Emergency room liability. JAMA.

Institute for Health Care Improvement. (2011). Nursing assessment form with medical emergency team (MET) guidelines. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari http://www.ihi.org/knowledge/Pages/Tools/NursingAssessmentFormwithMETGuidelines.aspx.

Ishak, 2012. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium untuk fisioterapis. Diakses dari http://www.slideshare.net/IshakMajid/radiologi-laboratorium-a4 tanggal 5 Mei 2013

Lombardo, D. (2005). Patient  asessment.   In: Newbury L., Criddle L.M., ed. Sheehy’s manual of emergency care,  ed 6. Philadelphia: Mosby.  
Lyandra, april, Budhi, Antariksa, Syahrudin. (2011). Ultrasonografi Toraks. Jurnal Respiratori Inonesia Volume 31 diakses dari http://jurnalrespirologi.org/ tanggal 28 April 2013.

Lyer, P.W., Camp, N.H.(2005).  Dokumentasi Keperawatan, Suatu Pendekatan Proses Keperawatan, Edisi 3.  Jakarta: EGC

Mancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication.

                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar